Rencana revisi Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi, dipicu oleh adanya polemik tentang penerapan fuel surcharges yang mengalami kenaikan dengan persentase yang tidak sebanding dengan persentase kenaikan harga avtur, dimana telah menimbulkan dugaan bahwa fuel surcharges bukan digunakan untuk menutup kerugian tetapi untuk menambah keuntungan.
Berdasarkan hasil Monitoring KPPU sejak 2006. menunjukkan fakta bahwa fluktuasi perubahan fuel surcharge tidak mengikuti perubahan harga avtur dan cenderung terus mengalami peningkatan.
Fuel surcharges adalah komponen tambahan biaya untuk menutup biaya yang muncul sebagai akibat dari kenaikan harga avtur seizin Pemerintah c.q. Departemen Perhubungan dan harus dibayar konsumen di luar harga tiket pesawat.
Sebaiknya regulator segera bertindak cepat dengan mengeluarkan aturan bahwa fuel surcharges harus masuk dalam komponen tarif penerbangan supaya tidak timbul dugaan-dugaan dan menjadi polemik yang berkepanjangan di masyarakat.
Berkaitan dengan keberatan Dephub atas permintaan salah satu maskapai untuk menghapus tarif batas atas penerbangan kelas ekonomi di sejumlah rute domestik dinilai cukup beralasan, yaitu mendasarkan pada UU No. 1/2009 yang menjelaskan bahwa pemerintah masih mengatur tarif ekonomi pesawat udara, antara lain melalui tarif batas atas.
Namun di sisi lain pemerintah sebagai regulator juga perlu menentukan tarif batas bawah yang mampu mengakomodir kepentingan semua moda angkutan sehingga moda tertentu tidak mematikan moda angkutan lainnya.
Permasalahannya adalah, berapa besaran tarif batas atas dan tarif batas bawah yang ideal yang mampu mengakomodir kepentingan semua pihak, yaitu tidak merugikan konsumen sebagai pengguna jasa penerbangan dan juga tidak menjadikan maskapai penerbangan sebagai penyedia jasa layanan penerbangan mengalami kerugian, serta tidak mematikan moda transportasi lain seperti angkutan darat dan laut. Disamping itu Pemerintah hendaknya terus melakukan pengawasan yang ketat kepada seluruh maskapai agar memenuhi kriteria standar Keamanan dan Keselamatan penerbangan. Upaya penilaian kinerja operator penerbangan terhadap kepatuhan dan pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan sipil melalui pemberian Pemeringkatan Kategori Maskapai Penerbangan, hendaknya tetap dilaksanakan secara kontinyu.
Dicabutnya larangan terbang oleh Air Safety Committee, Uni Eropa per Juli 2009 lalu, bukan berarti penerbangan Nasional telah memenuhi standar Keamanan dan Keselamatan penerbangan.
Federal Aviation Administration (FAA) adalah badan otoritas penerbangan Amerika Serikat, yang secara berkala mengeluarkan publikasi hasil pengawasan dan penilaian yang dikenal sebagai International Aviation Safety Assesment Program (IASA) terhadap seluruh anggota ICAO. Berdasarkan publikasi terakhir yang dikeluarkan FAA pada tanggal 08 Juni 2009, Indonesia berada pada Kategori 2 alias tidak aman”. Disamping Indonesia, di kawasan Asia termasuk Bangladesh, Philippines dan negara-negara yang memiliki potensi konflik seperti Israel, Serbia, Kroasia, Ukraina, Uruguay, Paraguay, Nicaragua, Honduras, Haiti, Congo, Zimbabwe, Ghana dan beberapa negara lainnya.
Sumber : Kompasiana/Galih Rudyto/20 November 2009
1 komentar:
Seperti yang lain2nya,, segala permasalahan di Indonesia hanya berujung pada polemik yang sulit menghasilkan solusi terbaik.. :(
Post a Comment