Jan 5, 2010

Garuda vs Freepot : Sebuah Kemunduran

Perselisihan yang sempat terjadi antara PT. Garuda Indonesia, sebuah maskapai penerbangan BUMN Nasional dengan PT. Freepot sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg, bermula ketika pesawat Garuda GA 653 rute Timika-Denpasar-Jakarta, tidak diberikan bahan bakar di Bandara Timika, yang dikelola Freeport, pada Minggu (3/12).

Penolakan operator Bandara mengisi bahan bakar Garuda, akhirnya dikaitkan dengan penolakan yang dilakukan oleh pesawat Garuda GA 652 untuk mengangkut Presiden Direktur Freeport Armando Mahler dan pejabat lainnya, yang akan melakukan penerbangan dari Jayapura ke Timika yang terjadi pada Sabtu (2/12).

Pesawat GA 652 yang seharusnya terbang ke Timika, tapi karena cuaca buruk dan jarak pandang yang terbatas membuat Pilot Garuda memutuskan untuk mendarat di Jayapura. Saat menunggu penerbangan lanjutan ke Timika, rombongan Freeport yang dijadwalkan dengan GA 653, berniat naik ke pesawat itu. “Presiden Freeport mau ikut ke Timika, tapi sudah terlambat karena dokumen sudah selesai. Pesawat buru-buru karena sudah terlambat tiga jam akibat divert di Jayapura,” ungkap Manotar yang juga Ketua Federasi Pilot Indonesia itu. Keinginan ini ditolak oleh Kapten Manotar Napitupulu karena membutuhkan waktu dan dapat memperlama delay sebab proses dokumentasinya telah selesai. Pilot juga harus mempertimbangkan penumpang yang seharusnya ke Timika.

Menurut Manotar, sebenarnya para petinggi PT Freeport itu bisa saja ikut jika memang waktunya mencukupi. Namun karena waktunya yang sempit permintaan itu harus ditolak. “Mereka bukan ditinggal tapi pesawat sudah terlambat. Kalau waktu memungkinkan, boleh-boleh saja. Mereka kan di kelas bisnis, harus dipersiapkan dulu. Kasihan penumpang yang lain,” imbuh Manotar.
Pesawat Garuda GA 653 di Timika, harus mengisi bahan bakar untuk kembali ke Denpasar dan selanjutnya ke Jakarta, namun tidak diizinkan oleh pihak bandara. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sumber terkait, status bandara Timika adalah dikelola dan dimilki oleh PT. Freepot Indonseia (FPI), termasuk status karyawannya. Akhirnya, Manotar memutuskan untuk berkoordinasi dengan Direktur Operasional Garuda dan seorang Pilot yang incharge. Dari situ dia tahu bahwa operator bandara tidak menyediakan avtur untuk Garuda. Mendengar jawaban itu Manotar menemui manajemen Bandara untuk menanyakan soal tidak adanya bahan bakar untuk Garuda. Pihak manajemen ketika itu menyatakan mengeluarkan kebijakan untuk meniadakan bahan bakar untuk Garuda per tanggal 4 Januari. “Itu kan besok, bukan hari ini,” protes Manotar ketika itu. Namun tak lama berselang, dia ditunjukan surat baru yang menyatakan bahwa pihak bandara tidak menyediakan bahan bakar per tanggal 3 Januari 2010. “Itu aneh,” kata Manotar.

Pihak bandara bergeming dengan permohonan untuk mendapatkan bahan bakar. Bahkan pihak manajemen Freepot sempat mengatakan permintaan agar Direktur Utama Garuda minta maaf kepada Vice Presiden PT. Freeport atas tidak diizinkan menaiki Garuda GA 652 dari Jayapura menuju Timika pada Sabtu (2/12) sehari sebelumnya. Sikap tersebut menurut pilot pesawat Garuda Manotar Napitupulu sebagai sikap arogan sekaligus cengeng. “Seharusnya mereka berlaku adil jangan terlalu cengeng dan arogan. Kenapa pengisian bahan bakar tidak ada buat Garuda tapi, buat pesawat lain ada,” ujar Monatar Napitupulu kepada okezone, Senin (1/4/2010). “Masih ada sisa 8 ribu liter avtur, untuk saya terbangkan ke Biak,” ungkap Manotar. Akhirnya dengan bahan bakar yang tersisa tersebut, pesawat tersebut terpaksa terbang ke Biak terlebih dahulu untuk mengisi bahan bakar disana untuk selanjutnya terbang menuju Denpasar dan Jakarta.

Juru bicara PT Garuda Indonesia, Pujobroto, Senin (4/1), mengatakan Garuda menerima surat dari Kepala Bandara Timika. Isinya Bandara Timika tidak bisa mengisi bahan bakar untuk pesawat Garuda mulai 3 Januari sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Pihak Bandara tidak menjelaskan alasannya. PT. Garuda Indonesia Airlines sempat mengancam akan menghapuskan jadwal penerbangan ke bandara Bandara Mozes Kilangin, Timika, Papua, jika pihak pengelola bandara yaitu PT Freeport Indonesia (FPI) bersikeras tidak melayani pengisian avtur untuk maskapainya. "Saat ini penerbangan berjadwal kami ke Timika satu kali dalam sehari dengan rute Jakarta-Denpasar-Timika vv. Kalau memang tidak diizinkan mengisi avtur, kami terpaksa menghentikan penerbangan ke sana. Akhirnya, Garuda Indonesia kembali menerima surat dari Kepala Bandara Timika, Moses Kilangin, Senin (4/1/2010) yang isinya menyatakan Garuda sudah diizinkan kembali mengisi bahan bakar di sana. Pemberitahuan itu berlaku mulai pukul 08.40 waktu setempat pagi ini" tegas Pujobroto, Senin (4/1/2010).

Namun, Juru Bicara PT Freeport Indonesia Mindo Pangaribuan membantah kabar yang menyebutkan, Presiden Direktur Freeport Armando Mahler, memaksa naik pesawat Garuda yang sedang mendarat di bandara Jayapura menuju Timika. "Itu tidak benar," kata Juru Bicara Freeport singkat saat dihubungi Tempo, Senin (4/1). Sementara itu, mengenai pelarangan memperoleh bahan bakar, Mindo mengatakan, pihaknya sudah memberitahu kepada pihak Garuda jauh hari soal keterbatasan bahan bakar avtur selama libur panjang Natal dan tahun baru.

Terkait peristiwa tersebut, Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Harry Bakti akan memanggil pihak PT Freeport. “Kami akan memanggil pihak PT Freeport untuk mengevaluasi Bandara Timika,” ujar Harry kepada okezone, Senin (4/1/2010). Bandara Timika dimiliki oleh PT Freeport dan semula hanya difungsikan sebagai bandara khusus yang melayani operasional penerbangan PT Freeport. Namun bandara itu sudah diubah menjadi bandara umum yang melayani penerbangan komersil. Sebab itu menurut Harry Bhakti sebagai bandara umum, Bandara Timika harus mampu melayani penerbangan komersil dan bukan penerbangan PT Freeport sendiri. “Ini yang akan kami rapatkan, evaluasi bandara,” imbuh Harry. Sebelum peristiwa kemarin, kata Harry, pihak PT Freeport memang sudah mempunyai program membatasi bahan bakar untuk penerbangan komersil dan baru akan mensosialisasikan kepada operator penerbangan untuk mempersiapkan diri dengan pembatasan penyediaan bahan bakar itu. Dengan peristiwa kemarin, maka program itu semakin penting untuk segera dibahas. Harry mengatakan untuk menghindari kejadian serupa di masa datang, idealnya PT Freeport dapat mengundang PT Pertamina untuk membuka depot di Bandara Timika, itu perlu dilakukan sebagai konsekuensi bandara tersebut sebagai bandara komersil. “Idealnya kami harapkan seperti itu.Tapi Pertamina juga perusahaan, mereka punya hitungan apakah bisa membuka cabang di sana. Kami harapkan semua pihak bisa menanggulangi ini bersama-sama,” jelasnya.

Kejadian yang diterima PT Garuda Indonesia di Bandara Timika tersebut merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Maskapai penerbangan milik Negara, diperlakukan seperti sedang berada di negara lain. Tindakan PT Freeport tersebut juga dinilai sewenang-wenang . Atas peristiwa itu, Komisi Perhubungan DPR akan memanggil Menteri Perhubungan. "Kita memandang perlu memanggil Menhub terkait beberapa kejadian di bidang perhubungan," terang anggota Komisi V, Yudi Widiana Adia melalui pesan singkatnya kepada okezone, Senin (4/1/2010). Mengenai kapan waktunya, Yudi akan mengusulkan kepada jajaran pimpinan Komisi V. "Saya kira perlu segera dilakukan pembenahan dalam konteks pelaksanaan undang-undang penerbangan," imbuhnya. Menurut politisi dari Partai Keadilan Sejahtera itu, Pertamina harusnya ada di Bandara Timika mengingat tingginya tingkat kesibukan di Bandara tersebut. "Saya memandang perlunya Pertamina hadir di sana karena tingkat kesibukan di bandara tersebut sudah cukup tinggi," tandasnya.

Namun terlepas pihak mana yang benar dan yang salah, peristiwa ini sungguh memprihatinkan. Bagaimanapun juga, masyarakat sebagai pengguna angkutan udara lah yang akhirnya dirugikan. Sebuah pertanyaan besar, bagaimana wajah dunia penerbangan di era Open Sky mendatang, jika kejadian seperti ini terus berulang. Semuanya akhirnya berpulang kepada pelaku penerbangan sendiri, akan membiarkannya yang berarti sebuah kemunduran atau intropeksi dan secara sungguh-sungguh berupaya membenahi kondisi penerbangan Nasional sebagai suatu keharusan.

Source : tempointeraktif.com, id.news.yahoo.com, news.okezone.com-1, news.okezone.com-2, news.okezone.com-3, news.id.msn.com/okezone, bisniskeuangan.kompas.com

0 komentar:

Post a Comment

All_about_indonesia
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews